Areal kebun milik Abdul Fatah itu berbatasan dengan kebun warga yang juga merupakan kebun sawit.
JURNALKALTENG.COM, Sampit – Sidang perdata yang diajukan M Abdul Fatah kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya telah memasuki tahap Pemeriksaan Setempat/ lapangan.
Dalam pemeriksaan langsung tempat/lokasi yang menjadi objek sengketa, terlihat bahwa kawasan yang diklaim sebagai kawasan hutan dan masuk dalam izin Hutan Tanaman Industri (HTI) ternyata merupakan kebun sawit dan karet warga.
Tanah milik Abdul fattah atau Penggugat didapat dari Abdul Hadi dan keluarganya itu kini merupakan areal kebun sawit.
Tanaman sawit tersebut merupakan tanaman pengganti dari pohon sawit tanaman Abdul Hadi yang sudah tidak produktif lagi,hal ini sesuai dengan fakta persidangan yang diungkap sebelumnya.
Areal kebun milik Abdul Fatah itu berbatasan dengan kebun warga yang juga merupakan kebun sawit, karet dan ada juga yang masih belukar.
Dalam pemeriksaan setempat tersebut, masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk menunjukkan objek. “Kami berikan kesempatan terlebih dahulu kepada penggugat untuk menunjukkan batas-batasnya. Di mana saja,” kata ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit yang diketuai oleh Darminto Hutasoit, Senin, 28 Juni 2021.
Pihak Abdul Fatah, berserta pemilik tanah asal Abdul Hadi dan keluarga menunjukkan titik lokasi dan batas tanah mereka yang berlokasi di Desa Ayawan, Kecamatan Seruyan Tengah, Kabupaten Seruyan dengan luasan sekitar 12 hektare.
“Dari total keseluruhan yang kita ukur tadi (12 hektare), yang masuk dalam 6 surat yang kini dikuasai Pak Abdul Fatah” kata Rendra Ardiansyah kuasa hukum penggugat.
Menurut Rendra, mereka juga sudah menunjukkan objek batas-batasan lahan. “Sangat jelas dari batas itu ada pemiliknya, milik perorangan, bukan perusahaan,” tukasnya.
Rendra optimis gugatan mereka dikabulkan, karena itu lahan milik kliennya dan milik masyarakat setempat. Sehingga SK 529 tentang peta kawasan hutan merupakan peta lokasi yang jadi dasar pihak Gakkum untuk menindak Abdul Fatah, merupakan peta penunjukkan dan bukan penetapan, sehingga bertentangan dengan keputusan mahkamah konstitusi.
Kemudian kesempatan yang sama juga diberikan kepada pihak tergugat menunjukkan areal yang diklaim sebagai kawasan hutan tersebut.
“Titik yang ditunjukkan oleh penggugat tadi benar sesuai dan kawasan hutan,” tegas perwakilan pihak Gakkum.
Dalam kesempatan itu juga hadir sejumlah masyarakat yang tanahnya berbatasan dengan tanah Abdul Fatah dengan luasan 12 haktare tersebut. Serta masyarakat pemilik tanah di sekitar objek tersebut.
“Ini tanah masyarakat semua, tidak ada di sini tanah perusahaan HTI yang seperti mereka sebut itu,” tegas Abdul Hadi.
Seperti diketahui gugatan penggugat sebelumnya disebutkan kalau tergugat dianggap melawan hukum setelah melakukan penindakan kepada Abdul Fatah secara pidana karena dianggap merambah kawasan hutan
Apabila diperhitungkan dalam isi gugatan itu maka penggugat mengalami kerugian yakni membeli tanah tersebut sebesar Rp. 87.650.000, biaya pengelolaan lahan dan biaya penanaman kepala sawit yaitu sebesar Rp. 100.000.000, sehingga kerugian Materil yang timbul akibat perbuatan Tergugat adalah sebesar: Rp. 187.650.000
Bahwa kerugian Inmateril yang timbul akibat Perbuatan Tergugat yang melawan hukum sebagaimana Pasal 30 Huruf (b), Peraturan Presiden Nomor: 88 tahun 2017 Tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan; yang melakukan penangkapan, hingga penahan serta penetapan Penggugat sebagai Tersangka adalah kerugian moril, dan penderitaan serta pelanggaran Hak Asasi Manusia, bahwa apabila di nominalkan sebesar Rp. 1.500.000.000.
Dalam gugatan perdata Penggugat juga memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Sampit atau Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini untuk dapat menetapkan uang paksa (Dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000.- Perhari yang harus dibayarkan oleh Tergugat jika hal ini terus berlanjut.(YhY)
Komentar